Stroberi – Merah menggoda, terlihat manis, menyimpan seribu rahasia dengannya; stroberi bisa terlihat manis di luar, namun dari gigitan pertama kamu akan menyadari bahwa merah itu dandanan belaka untuk menutup seribu cerita masam, seribu cerita pahit, dan belum lagi sesuatu yang beracun. Jadi berhati-hatilah dengan stroberi.
That’s one of my writings in 2002 or 2003.
Adalah 3 orang sahabat (Dari sekumpulan besar sahabat tentunya-). Eve, Chris, and myself.
3 orang sahabat ini saling mengenal sejak masih duduk di bangku SMP. Eve dan aku satu tingkat, Chris lebih tua satu tahun.
Eve dan Chris sudah menjalin hubungan semenjak aku kelas 2 SMP.. dan aku baru mengenal mereka secara dekat kelas 3 SMP akhir. Pertemanan itu berjalan lancar, mulus sebagaimana pertemanan masa remaja.
Aku yang duduk di kelas 3 SMP, pendiam, agak pemalu dan rendah diri namun dinilai lebih dewasa dari teman2 sebaya (bagi temanku yang tahu siapa aku sebenarnya). Beberapa teman datang untuk bercerita, meminta pendapat.
Begitu pula dengan Eve dan Chris, layaknya yang lain, mereka menceritakan apapun tentang permasalahan hubungan mereka padaku. Aku sering menjadi penengah dari perselisihan-perselisihan kecil mereka, ataupun menjadi mediator dari pertengkaran-pertengkaran besar mereka.
Selayaknya anak gadis umur 3 SMP, aku pun jatuh cinta, dan bertukar cerita dengan kedua sahabat dekatku. Cerita cinta yang kubawa dari kelas 3 SMP itu berlangsung sekitar hampir 2 tahun – sebenarnya itu cerita cinta yang kandas di tengah jalan, sang pria lupa, sang gadis masih merindu dan bertanya kenapa. (This is another story, ignore it)
Well, naik ke bangku SMA, akhirnya Eve dan Chris memutuskan untuk berpisah. Putus hubungan. Aku menganggap itu biasa, setelah mereka putus sambung ratusan kali. Eve meraung sedih, namun gengsi untuk meminta kembali. Ia berusaha (sok) tegar layaknya wanita yang mempertahankan harga dirinya. Namun aku ingat, dia bercerita padaku betapa dia sakit, perih dan ingin kembali.
Chris, sebagai kakak kelas kami, dia menjauh, pergi bergaul dengan teman2nya seangkatan. Meski demikian, aku, sang mediator, masih berusaha sok bijak dan sok dewasa – membujuk Chris kembali pada Eve.
Pembicaraan-pembicaraan itu menjadi topik regular kami. Eve bercerita padaku, aku bercerita pada Chris. Dan akhirnya Chris bercerita padaku bagaimana ia kecewa dengan sifat kekanakkan Eve. Di tengah teman-temanku tersayang, aku berusaha menjadi simpul antara tali percintaan yang terputus.
Situasi itu berlangsung cukup lama. Aku tak bisa ingat berapa lama pastinya. Sampai akhirnya, Eve putus asa tak menemukan titik temu. Dan aku pun lelah menjadi penyambung.
Tak tahu bagaimana, aku yang masih remaja ini juga, butuh telinga yang mendengar, dan entah kenapa aku bercerita pada Chris tentang diriku sendiri yang patah hati dan hancur menunggu seorang pria yang lupa (refer to paragraph 7).
Hari-hari berjalan biasa. Sampai suatu hari di satu tahun kemudian. Ketika aku sedang bercerita tentang perihnya patah hatiku, entah kenapa akhirnya Chris mengungkap alasan sebenarnya mengapa dia memilih putus dengan Eve. Dia menyebut namaku sebagai alasannya. Aku diam, tak bergeming, tak mengerti.
Masih ingat, malam itu aku linglung. Berasa perih dan bersalah atas kandasnya hubungan 2 sahabat baikku.
Bodohnya aku, keesokan harinya, aku tak mampu menyimpan perih itu sendirian. Eve yang dekat denganku merasa ada yang salah denganku hari itu. Dia mendesakku untuk bercerita, sampai hari kesekian, aku akhirnya menyerah, aku pun menceritakan percakapan anehku dengan Chris.
Entah bagaimana, Eve yang masih mencinta sebelah pihak itu, merasa menemukan aku sebagai objek empuk kemarahannya. Dia menyalahkanku atas semua ketidakbahagiannya dan ketidakberdayaannya selama ini.
Dan aku yang masih naïf, entah kenapa juga merasa sebegitu bersalahnya.
Di satu sisi, Chris, yang sudah lebih dewasa, mengingatkanku bahwa Eve hanya marah karena ia sebenarnya tidak mampu menerima kenyataan, dan ia pun mengingatkanku dengan keras bahwa hati tak bisa ditahan. Hati tak bisa berbohong, karena ia selalu menemukan jalannya sendiri menemukan seseorang untuk dicinta. Dia berusaha menjelaskan padaku bahwa, dia tidak pernah berencana untuk jatuh hati padaku. Namun, aku pun berubah pahit. Pura-pura tidak mengerti apa maksud semua itu.
Bagiku yang tidak banyak teman ini, mempunyai seorang sahabat seperti Eve adalah anugrah. Dan aku tidak mungkin menyambut cinta dari seorang sahabat yang kuanggap seperti kakak sendiri, yang kemudian hari aku sangat tahu bahwa aku juga hanya menyangkal diri sendiri.
Hari-hari kelabu itu datang, Eve yang selalu menjauh, Chris yang selalu merayu.
Susah payah aku menjelaskan kepada dua pihak. Pada Eve dan Chris aku menjelaskan bahwa aku tidak mungkin mengkhianati persahabatan. Namun, lagi-lagi tidak ada yang mendengar.
Status Quo itu terjadi selama 9 bulan, Eve selalu membuang muka dengan kejam. Aku ingat suatu malam ketika dia menemukan aku dan Chris sedang mengobrol di belakang panggung pensi sekolah kami. Dia datang dan memecahkan satu gelas kaca di depanku, tanda peperangan sejati yang ingin dia mulai.
Sebagai gadis remaja biasa, aku lelah berlari dan ingin menjadi diriku sendiri. Aku akhirnya mulai membuka hati untuk Chris – tanpa setahu dirinya.
Selama itu pulalah, aku bermain sebagai stroberi. Seseorang yang pura-pura bermain cantik, pura-pura tegar, namun sebenarnya, di dalam aku mulai membusuk dan mengerang. Aku tahu, hatiku mulai beralih pada Chris, namun aku berusaha menolak keinginan hati sendiri – Bagi mereka yang sudah pernah berusaha menahan rasa cinta, mereka akan tahu sulitnya seperti apa.
Hari, minggu dan bulan berlalu. Aku tetap tegar sebagai stroberi liar yang tumbuh di tengah hutan sendirian. Chris akhirnya pun menyerah. Dia berjanji menghargai keputusanku sebagai gadis yang beranjak dewasa.
Kepergian Chris dari hidupku terasa pahit. Aku berharap, dia kembali mengetuk pintu hatiku, seperti yang dulu dia lakukan. Namun terlambat, dia sudah pergi. Aku pun tak sempat mencicipi dirinya yang semanis coklat.
Ketika kami bertemu lagi di satu hari di tahun lain. Kami mendiskusikan hal ini, melihat ke belakang dan tertawa. Mengingat permainan hide and seek bodoh yang kami lakukan. Padahal, stroberi dan coklat bisa jadi paduan yang sangat ciamik…
No comments:
Post a Comment